Article Image

Jelajah Seni Rupa Di Kampung Piji Wetan: Sebuah Petualangan Yang Menarik

26 April 2024, 15:30 WIB Budaya

Perjalanan panjang berliku akhirnya membawaku ke sebuah kampung yang menawan, tempat pameran seni rupa sedang berlangsung. Suasana hangat dan ramah langsung terasa begitu tiba di sana. Cuaca memang panas terik, tapi pemandangan jalanan dan bangunan-bangunan di sekitarnya berhasil memikat perhatian. Setelah mampir sejenak di sebuah kedai kopi untuk bertemu kurator dan penata artistik pameran, kami bergegas menuju lokasi utama pameran.

Apa yang Membuat Pameran Seni Rupa Ini Begitu Istimewa?

Sesampainya di kampung, kami langsung disambut dengan acara “Jagongan Seniman”, sebuah sesi diskusi santai dengan para seniman. Di tengah riuhnya anak-anak bermain, aku menikmati semangka sambil mengamati karya seni yang dipamerkan. Salah satu karya yang paling membekas adalah "Hantaran," sebuah instalasi yang seolah-olah mengajak kita berdialog tentang hal-hal sakral dan profan. Kombinasi pohon jambu air, kembang, menyan, telur, dan foto di dalam lampu taman menciptakan suasana yang magis.

Karya lain yang tak kalah menarik adalah "Ageman Amongjiwo" oleh Kolektif Matrahita. Karya kolaboratif ini memanfaatkan kain-kain bekas dan sisa menjadi sebuah relief hidup yang menggambarkan kegiatan sehari-hari warga setempat. Proses penciptaannya pun menjadi cerminan interaksi antar generasi, sebuah proses menjahit, baik secara harfiah maupun metaforis.

Bagaimana Seni Rupa Mampu Mencerminkan Budaya Lokal?

Di area utama, kami menemukan karya-karya lain yang tak kalah memikat. “Abhantal Tana, Asapo Bhako” karya Lembana Artgoecosystem, misalnya, menampilkan kuburan buatan, kain bergambar, sarung bertulis aksara Madura, dan lapak untuk melinting kretek. Karya ini secara unik membangun relasi antara Kudus sebagai kota kretek dengan Madura sebagai penghasil tembakau. Pertanyaan tentang asal-usul tanah kuburan dan makna simbolisnya terus terngiang dalam benakku.

Selanjutnya, ada karya Umar Farq berjudul "Ambang," yang berupa tumpukan bata yang menyerupai bangunan masjid atau candi. Penempatannya yang berada di antara lapak-lapak dan jalanan menciptakan kesan padat dan ambigu. Karya ini bagaikan sebuah metafora tentang kehidupan yang penuh teka-teki.

Instalasi dapur performatif "Rewang: Perigi di Balik Panggung Perayaan" karya kolaborasi Jaladara Collective dan ibu-ibu warga Piji Wetan menyajikan sebuah perpaduan menarik antara dapur tradisional dan seni pertunjukan. Resep-resep masakan yang diwariskan menjadi sebuah teks dramatik-performatif yang kaya akan makna.

Bagaimana Seni Rupa Dapat Menggali Sejarah dan Membangun Komunitas?

Karya "Ingatan-Ingatan yang Berkabut" oleh Febri Anugerah mengisahkan proses penemuan kembali sumber air yang hilang melalui seni. Burung-burung plastik daur ulang yang dipadukan dengan relief di sekitar sumber air menciptakan visual yang memukau sekaligus sarat makna. Integrasi suara selawat koplo dari rumah warga menambah dimensi lain pada pengalaman estetis.

Dipo Divasio Putra menghadirkan "Tilar Jati: Dharmaguna kang Lestari," sebuah karya yang merekonstruksi pos kamling dengan batik bermotif biografi dan sejarah Kudus. Karya ini mampu menyatukan unsur sejarah, personal, dan interaksi sosial melalui aktivitas “nglelet”.

"Menilik Bilik Muria" oleh Mellsana menggunakan kolase partisipatif yang mengajak penonton untuk merefleksikan hal-hal yang seringkali luput dari perhatian. Meskipun penempatannya di tengah lapangan yang ramai bermain bola terasa sedikit janggal, hal ini mungkin merupakan bagian dari pesan yang ingin disampaikan.

Karya-karya Medialegal, Budi Kusriyanto, Matrahita, Feri Arifianto, dan Fitri DK, semuanya menghadirkan perspektif unik tentang budaya, sejarah, dan kehidupan masyarakat lokal. Setiap karya punya ceritanya sendiri, dan menciptakan pengalaman estetis yang tak terlupakan.

Kolektif Arungkala, melalui "Museum Orang Biasa: Sejarah dan Ingatan Warga," menawarkan sudut pandang baru tentang sejarah Muria, bukan hanya dari perspektif Sunan, tetapi juga melalui riset dan tokoh-tokoh lokal. Zine yang memajang sejarah lokal dan tokoh-tokoh sehari-hari menambahkan lapisan lain pada pengalaman pameran.

Pengalaman di kampung Piji Wetan ini bukan sekadar menikmati karya seni, tetapi juga merasakan kehangatan komunitas dan kekayaan budaya lokal yang terpancar melalui setiap karya seni.

Secara keseluruhan, pameran ini menunjukkan betapa seni rupa dapat menjadi media yang efektif untuk mengungkapkan berbagai aspek kehidupan, dari hal-hal yang sakral hingga yang profan, dari sejarah hingga kehidupan sehari-hari, dan dari interaksi antar generasi hingga refleksi personal. Pameran ini juga berhasil menciptakan sebuah dialog yang menarik antara seniman, karya, dan penontonnya.

Sumber : https://ketiketik.com/cerita-cerita-alur-baca-dan-apa-apa-yang-didapat-kala-bertandang-ke-muria-bagian-1/